Hari Asyuro, Keutamaan dan Hukum-Hukumnya

Segala puji hanyalah milik Allah, sholawat dan salam semoga tercurah atas penutup Rosul-Nya dan orang terbaik dari para makhlukNya Nabi kita Muhammad shalallaahu ‘alaihi wassalam beserta para pengikut dan sahabatnya.

Kemudian setelah itu, dalam pembahasan ini kami akan memaparkan apa yang dijalani oleh ahlussunnah berupa sikap peneladanan dan pertengahan terkait dengan hari ‘asyuro’ serta apa yang dijalani oleh para ahli bid’ah dan kesesatan berupa sikap ekstrim, kasar dan menyimpang dari kebenaran. Dan juga apa yang dijalani oleh Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam berupa agama yang lurus terkait dengan hari ini.

Pertama : Keistimewaan Asyuro dan keutamaan berpuasa pada hari tersebut

Telah datang (hadist/riwayat) tentang keutamaan Asyuro bahwasannya ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Nabi-Nya Musa ‘alaihis salam dan kaum mukminin yang bersamannya. Dia menenggelamkan Fir’aun dan pengikutnya pada hari tersebut. Yaitu dari Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah tiba di Madinah lalu mendapati kaum yahudi berpuasa asyuro maka bersabdalah Rasulullah kepada mereka : “Hari apa ini yang kalian berpuasa padanya ? ” Mereka berkata : “Ini hari yang besar , Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya padanya dan menenggelamkan fir’aun beserta pengikutnya”. Maka Musa pun berpuasa pada hari tersebut sebagai rasa syukur, sehingga kami juga berpuasa. Lantas Rasulullah bersabda : “Kalau begitu kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian”. Maka Rasulullah pun berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkan untuk berpuasa (HR.Al Bukhori No 2004 dan Muslim No 11330).

Dan sungguh telah datang penjelasan tentang keutamaan puasa Asyuro dalam hadist Abu Qotadah bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam ditanya tentang puasa Asyuro maka beliau bersabda : “Menghapus dosa – dosa setahun yang lalu” dan dalam riwayat lain : “Puasa Asyuro, aku  berharap bahwa Allah akan menghapus dosa tahun yang sebelumnya” (HR Muslim no 1162). Dan dalam hadist yang lain  : “barang siapa yang puasa Asyuro maka Allah akan mengampuninya dosa – dosa selama setahun ” (HR Al Bazzar, lihat : Mukhtashor Zawaid al Bazzar 1/407, dihasankan oleh Al Albani dalam Shohih at Targhib wa Tarhib 1/422). Bahkan sesungguhnya puasa tersebut sebanding dengan puasa setahun sebagaimana dalam sebuah riwayat : “itu adalah puasa setahun” (HR Ibnu Hibban 8/394,3631, Syu’aib Al Arnauth berkata : “sanadnya sesuai syarat muslim”)

Ibnu ‘abbas menggambarkan semangat Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam untuk berpuasa padanya. Beliau berkata : “Aku tidak melihat Nabi begitu perhatian terhadap sebuah puasa yang beliau utamakan dari yang lain, selain hari ini yaitu hari Asyuro dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan ”.(HR Al Bukhori 2006). Ibnu Hajar mengatakan : “Ini tidak berarti lebih mengutamakannya dari pada hari arofah , karena sesungguhnya puasa ini (hari arofah -pent) menghapus dosa dua tahun, dan teristimewakan dengan tambahan keutamaan karena ada ibadah-ibadah, ampunan dan pembebasan (dari api neraka) yang terjadi padanya. Kemudian sesungguhnya (puasa) ini diapit oleh bulan – bulan harom sebelum dan sesudahnya dan juga puasa ini termasuk diantara kekhususan syariat kita lain halnya dengan Asyuro, sehingga puasa ‘Arofah dilipat gandakan karena barokah Al Musthofa”  (Al Fath : 4/292)

Kedua : Tahapan-tahapan pensyariatan puasa Asyuro

Puasa Asyuro melewati beberapa tahap pensyariatan (lihat Al Lathoif : 102-109).

Tahap pertama : Bahwa Nabi shalallaahu ‘alaihi wassalam pada awalnya berpuasa Asyuro di mekkah dan tidak menyuruh orang-orang untuk berpuasa padanya

Tahap kedua : Saat tiba di Madinah beliau menjumpai kaum yahudi berpuasa pada hari tersebut. Maka beliaupun berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa pula. Sampai-sampai beliau menyuruh orang yang sudah terlanjur makan pada hari itu untuk berpuasa pada sisa hari tersebut. Kejadian itu terjadi ditahun kedua hijriyah, sebab beliau tiba di Madinah pada Robi’ul Awwal

Tahap ketiga : Tatkala puasa ramadhan diwajibkan pada tahun kedua, kewajiban puasa Asyuro dihapus dan menjadi mustahab (sunnah). Jadi perintah untuk puasa tersebut tidak terjadi kecuali hanya selama setahun. (Al Fath 4/289)

Ada beberapa hadist yang mendukung (penjelasan) tentang tahapan-tahapan ini :

  1. Hadist ‘Aisyah radhiyallaahuanha beliau berkata dahulu suku Quroisy melakukan puasa Asyuro dimasa jahiliyah. Dan Rasulullah juga berpuasa. Lalu ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau pun berpuasa dan memerintahkan untuk berpuasa. Kemudian tatkala puasa ramadhon diwajibkan beliau bersabda : ”Barang siapa yang ingin berpuasa (Asyuro) maka silahkan,  barang siapa yang ingin (tidak berpuasa) silahkan dia tinggalkan ”. (HR Muslim 1125)
  2. Hadist Rubayyi’ bintu Mu’awwidz dia berkata : “Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam mengutus (orang) pada pagi hari Asyuro kepada kampung-kampung penduduk Anshor yang berada disekitar Madinah : “Barang siapa yang berpuasa diantara kalian maka hendaknya menyempurnakan puasanya, dan barang siapa dipagi harinya berbuka maka hendaknya berpuasa pada sisa harinya”. Maka setelah itu kami  berpuasa (Asyuro), dan melatih anak-anak kecil kami untuk berpuasa, kami membawa mereka ke masjid serta membuatkan mereka mainan dari kapas. Maka pergilah kami bersama mereka. Kalau mereka minta makanan kepada kami, kami beri mereka mainan untuk membuat mereka lupa sehingga mereka bisa menyempurnakan puasa.”. (HR Muslim 1136)

Tahapan keempat : Perintah untuk menyelisihi yahudi dalam (tatacara) pelaksanaan puasa Asyuro.

Pada awalnya Nabi senang menyamai ahli kitab (yahudi dan nasrani) pada hal-hal yang beliau tidak disuruh berbeda. (Sebagaimana riwayat yang shohih dari Ibnu ‘abbas dalam Shohih Al Bukhori no 5917) Sampai pada akhirnya beliau diperintahkan untuk menyelisihi mereka dan dilarang untuk menyamai mereka. Sehingga beliaupun bertekad untuk tidak hanya berpuasa pada hari Asyuro saja. Jadi  (bentuk) penyelisihan beliau terhadap mereka berupa meninggalkan puasa Asyuro secara bersendirian. Ada beberapa hadist yang mendukung hal tersebut, diantaranya :

Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata : “Ketika  Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam puasa Asyuro dan menyuruh berpuasa, mereka (para sahabat-pent) berkata : “Sesungguhnya itu adalah hari yang diagungkan oleh yahudi dan nasrani !”, maka Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam bersabda: ‘Apabila tahun depan tiba insya Allah kita akan puasa tanggal 9’ ” Dia (Ibnu ‘abbas) berkata : “Ternyata tidaklah datang tahun berikutnya sampai Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam meninggal ”. (HR Muslim 1134)

Ketiga : Tatacara menyelisihi yahudi dalam melaksanakan puasa Asyuro

Tampak dari penjelasan yang lalu pada hadits-hadist –wallahu A’lam- bahwa yang paling sempurna adalah puasa tanggal 9 dan 10, karena itulah yang nabi bertekad untuk melakukannya.

Keempat : Berbagai amalan orang-orang dihari Asyuro menurut timbangan syariat

Orang yang memperhatikan kondisi masyarakat sekarang akan melihat bahwa mereka mengkhususkan Asyuro dengan bermacam kegiatan diantaranya :

  1. Puasa, dan telah kita ketahui sisi pensyariatannya.
  2. Menghidupkan malam Asyuro dan bersemangat untuk berlebih-lebihan membuat makanan serta melakukan penyembelihan secara meluas untuk mengambil dagingnya dan menampakkan keceriaan serta kegembiraan.
  3. Apa yang terjadi dibanyak negeri berupa perkumpulan-perkumpulan (perayaan) yang berisi berbagai  simbol (upacara) tertentu yang dilakukan oleh kaum Rofidhoh (Syiah) dan selain mereka.

Supaya kita bisa mengetahui sejauh mana disyariatkannya amalan-amalan tadi sehingga merupakan pendekatan diri kepada Allah, atau justru tidak disyariatkan sehingga merupakan bid’ah-bid’ah dan ajaran yang diada-adakan yang bisa menjauhkan seorang hamba dari Allah. Maka sesungguhnya kita harus mengetahui dengan baik bahwa amalan yang akan diterima oleh Allah memiliki beberapa syarat, diantaranya : hendaknya orang yang beramal mengikuti Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam dalam (tatacara) amalannya. Apabila kita memperhatikan perbuatan orang-orang dihari Asyuro –sama saja yang terjadi dizaman sekarang atau dahulu ataupun yang baru saja berlalu (lihat tentang bid’ah-bid’ah Asyuro : Al Madkhol karya Ibnu Al Haaji’ 1/208-209)- maka kita akan melihat bahwa perbuatan tersebut bisa dikelompokkan menjadi beberapa bentuk :

  1. Yang masuk dalam kategori ibadah yang mana mereka mengkhususkan hari ini dengan beberapa ibadah seperti sholat malam ‘asyuro, ziarah kubur pada siang harinya, sedekah, memajukan atau mengakhirkan zakat dari waktu wajibnya dengan tujuan agar bertepatan dengan hari Asyuro, membaca surat yang berisi penyebutan Musa pada sholat shubuh hari Asyuro. Maka pada perbuatan-perbuatan ini dan yang semisalnya terdapat penyelisihan (terhadap syariat) dari sisi sebab amalan, yaitu mengkhususkannya pada waktu yang pembuat syariat (Allah dan RosulNya) tidak mengkhususkannya dengan amalan-amalan ini. Seandainya dia (pembuat syariat) menghendakinya atau menginginkannya pasti dia akan memberikan dorongan untuk melakukannya, sebagaimana dia telah menganjurkan untuk berpuasa pada hari tersebut. Jadi perbuatan tersebut tidak diperbolehkan dengan alasan membatasi waktu (mengkhususkan), meskipun pada asalnya memang disyariatkan.
  2. Yang masuk dalam kategori adat kebiasaan yang biasa dilakukan pada hari Asyuro dalam rangka menyamakannya dengan hari raya, diantaranya : mandi, memakai celak, memakai bukhur (sejenis kayu yang berbau wangi), pesta makan dan minum, menggiling biji-bijian, memasak makanan khusus, menyembelih untuk dimakan dagingnya, menampakkan keceriaan dan kegembiraan. Dan sebagiannya ada berbagai kebiasaan yang tidak lepas dari perbuatan mungkar yang jelek. Perbuatan-perbuatan ini pada mulanya muncul dan terjadi sebagai bentuk reaksi balik terhadap acara perkumpulan Rofidhoh (Syiah) yang mereka laksanakan sebagai wujud duka cita atas terbunuhnya Al Husain. Yakni diantara nashibah atau nawashib (mereka adalah orang-orang yang memancangkan permusuhan terhadap ahli bait (keluarga nabi), berseberangan dengan Rofidhoh yang berlebih-lebihan memperlakukan mereka (ahlul bait)) ada yang menampakkan sikap gembira atas bencana yang menimpa orang lain dan suka cita, serta mengada-adakan berbagai perkara yang tidak diajarkan agama pada hari itu. Jadi mereka terjatuh dalam perbuatan menyerupai yahudi yang menjadikan hari tersebut sebagai hari raya -sebagai mana yang telah lalu-  (sebagaimana yang disebutkan Syaikhul Islam dalam kitabnya Iqtidho’ Ash Shirot Al Mustaqim 2/129 – 134) Adapun mandi, memakai celak dan menyemir rambut maka tidak ada satupun riwayat yang benar tentangnya. Dan ketika Ibnu Taimiyah mengisyaratkan kepada hadist-hadist yang diriwayatkan berkaitan dengan keutamaan Asyuro berliau berkata : “Semua ini adalah kedustaan atas Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam, tidak ada (riwayat) yang benar tentang hari Asyuro selain (riwayat tentang ) keutamaan berpuasa ”. (Minhaj As Sunnah An Nabawiyah 7/39). Dan dengan itulah diketahui bahwa syariat tidak mengkhususkan Asyuro dengan suatu amalan apapun selain puasa. Dan inilah jalan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam.

لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wassalam suri tauladan yang baik bagi orang yang mengharapkan (perjumpaan) dengan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah” (QS. Al Ahzab : 21.)

Batapa banyak terluput sikap mengambil teladan kepada Nabi dan mengamalkan sunnah beliau dari orang-orang yang tersibukan dengan berbagai bid’ah itu !

Acara-acara perkumpulan syi’ah (Rofidhoh dan Batiniyah) :

Adapun berkaitan dengan acara-acara perkumpulan syi’ah maka sesungguhnya tidak ada perbedaan perndapat tentang keutamaan Al Husain. Yakni beliau termasuk ulama dari kalangan sahabat nabi dan pemimpin kaum muslimin di dunia maupun akherat yang mana mereka terkenal dalam ibadah, keberanian dan kedermawanan. Beliau juga putra dari putri (Fatimah) dari manusia termulia shalallaahu ‘alaihi wassalam. Yang mana dia (Fatimah) adalah putri beliau yang paling utama. Pembunuhan yang terjadi terhadap beliau (Al Husain) adalah sebuah perbuatan mungkar lagi sangat jelek yang membuat sedih setiap muslim. Dan sungguh Allah telah membalas orang-orang yang membunuh beliau (Al Husain) sehingga Dia menghinakan mereka di dunia dan menjadikan mereka sebagai pelajaran bagi yang lain. Yakni telah menimpa mereka berbagai penyakit dan fitnah dan sedikit dari mereka yang selamat. Yang sepantasnya ketika menyebutkan musibah Al Husain dan yang lain adalah bersikap sabar dan ridho terhadap ketetapan Allah dan taqdirnya, dan bahwa Dia memilihkan untuk hambanya yang terbaik kemudian mengharap pahala musibah tersebut dari Allah.

Akan tetapi apa yang diperbuat oleh kaum syi’ah berupa menampakkan kesusahan dan kesedihan yang kebanyakannya sangat terlihat terlalu dibuat-buat dan memberat-beratkan diri adalah sama sekali tidak baik. Sungguh  dahulu bapaknya (Al Husain) yaitu ‘Ali, lebih utama darinya juga telah terbunuh. Akan tetapi mereka (Syiah) tidak menjadikan kematian beliau sebagai hari berkumpul (perayaan). Demikian pula terbunuhnya ‘Utsman, Umar dan meninggalnya Abu Bakr yang mereka semua lebih utama darinya.

Dan pimpinan para makhluk (Nabi) telah meninggal pula, tapi tidak dilakukan pada hari kematian beliau seperti pada hari kematian Al Husain. Membuat (perayaan-perayaan) bukanlah termasuk ajaran agama kaum muslimin sama sekali, bahkan itu lebih mirip dengan perbuatan masyarakat jahiliyah. (Al Fatawa karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/307-314, dan Iqtidho Ash Shorot Al Mustaqim 2/129-131)

Ibnu Rajab berkata tentang hari Asyuro : “Adapun menjadikannya sebagai perayaan sebagaimana yang dilakukan kaum Rofidhoh dalam rangka memperingati kematian Al Husain bin ‘Ali pada hari tersebut, maka hal itu termasuk perbuatan orang-orang yang sia-sia usahanya di kehidupan dunia sedangkan dia menyangka bahwa dia sedang berbuat baik. Allah dan RosulNya juga tidak memerintahkan untuk menjadikan hari terjadinya musibah terhadap para nabi dan kematian mereka sebagai perayaan, maka bagaimana dengan orang yang tingkatannya di bawah mereka ? ”. (Lathoif Al Ma’arif 113)

Dan yang perlu diperhatikan bahwa acara perkumpulan Rofidhoh pada hari Asyuro tidak berkaitan dengan satu prinsip islam pun, sedikit ataupun banyak. Karena tidak ada hubungannya acara mereka dengan selamatnya Musa, begitu pula puasa nabi. Justru kenyataannya mereka memanfaatkan kesempatan untuk mengalihkannya kearah yang lain. Dan ini termasuk suatu jenis penggantian terhadap agama Allah.

Dinukil oleh Saudari Ummu Zubair dari Libia

dari http://www.sahab.net/home/?p=584

Diterjemahkan oleh : Abdul Qowiyy

Murojaah oleh Al Ustadz Qomar ZA, Lc.

http://www.salafy.or.id/2011/12/05/hari-asysuro-keutamaan-dan-hukum-hukumnya/

Leave a Reply